Pages - Menu

Pages

Senin, 07 April 2014

PUSAKA WULU DOMBA PANCAL PANGGUNG

Setelah Sultan Hadiwijaya dapat mengalahkan Arya Penangsang pada tahun 1549, wilayah Jipang Panolan menjadi daerah kekuasaan Pajang. Sultan Hadiwijaya menyerahkan Jipang Panolan kepada anaknya yang bernama Pangeran Benawa.
“Anakku Benawa, setelah Arya Penangsang kalah, Pajanglah yang berkuasa atas Jipang Panolan. Dan aku ingin agar kau yang menjadi Adipati Jipang Panolan,”titah Sultan Hadiwijaya kepada anaknya.
“Mengapa harus aku, ayahanda Sultan?”
“Dengarlah anakku, Jipang Panolan yang berada di tepi Bengawan itu menjadi urat nadi perdagangan, Jipang juga merupakan daerah perbatasan dengan Surabaya yang sedang melebarkan sayapnya ke barat. Jipang Panolan dan sekitarnya merupakan daerah penghasil kayu jati terbaik. Alasan-alasan itulah yang membuat aku menyerahkan Jipang Panolan kepadamu anakku, bukan kepada orang lain.”
Beberapa hari kemudian Pangeran Benawa berangkat ke Jipang Panolan dan menjadi Adipati di sana. Baik kadipaten Jipang Panolan, maupun Kota Raja Pajang dalam keadaan damai, dan tidak ada peperangan. Namun, setelah pajang dikalahkan oelh Sutawijaya, kekuasaan Pajang redup dan berpindah ke Mataram. Kekalahan Pajang dari Mataram itu membuat Sultan Hadiwijaya memanggil anaknya, Benawa, dan menyerahkan Wulu Domba Pancal Panggung, yang merupakan kumpulan pusaka Pajang kepada Pangeran Benawa.
“Anakku Benawa, terimalah Wulu Domba Pancal Panggung ini dan selamatkanlah pusaka Pajang ini.”
Sultan Hadiwijaya menyerahkan guci buatan Cina yang berisi pusaka Pajang kepada Pangeran Benawa.
“Doakanlah ayahanda agar anakmu dapat menyelamatkan Pusaka Pajang,”Pangeran Benawa dengan gemetar dan terharu menerima guci itu.
“Segeralah kembali ke Jipang Panolan sebelum prajurit Mataram memorakporandakan Pajang. Pergilah. Pergilah anakku. Jadikanlah Jipang Panolan sebagai tempat yang makmur dan damai,”suara sendu keluar dari derita Sultan Hadiwijaya.
Pangeran Benawa segera meninggalkan Pajang dengan  perasaan terharu, air matanya bercucuran merasakan penderitaan ayahnya Sultan Hadiwijaya. Pangeran Benawa mewujudkan pesan ayahnya untuk mengembangkan Jipang Panolan menjadi tempat yang makmur dan damai.
Daerah Jipang Panolan mulai berkembang pesat. Perkembangan itu membuat iri Kadipaten Rajekwesi yang berada di sebelah timur Jipang Panolan, yang dibatasi oleh Bengawan.
Adipati Rajekwesi yang iri terhadap Jipang Panolan itu berencana menghancurkan Jipang Panolan.
“Hai Patih, apakah kau sudah tahu, sekarang ini Kadipaten Jipang Panolan menjadi makmur. Apa yang menyebabkan kemakmurannya itu?” Tanya Adipati Rajekwesi kepada patihnya.
“Hamba dengar seluruh rakyat Jipang Panolan bekerja dengan keras, demikian juga adipatinya, Pangeran Benawa,”jawab si Patih.
“Hamba dengan Jipang Panolan memiliki pusaka sakti dari Pajang. Konon kabarnya, pusaka itu pemberian Sultan Hadiwijaya,”sambung Ki Demang menambah penjelasan Patih kepada Adipati Rajekwesi.
“Lalu apa yang harus aku perbuat Demang, agar Jipang Panolan tidak bertambah makmur? Katakanlah usulmu kepadaku!” ujar Adipati Rajekwesi.
“Curilah pusaka itu Kanjeng Adipati!” seru Ki Demang dengan mantap.
“Apa? Mencuri pusaka Jipang Panolan?” Hampir tidak percaya Adipati Rajekwesi mendengar usul Ki Demang.
Akhirnya, Adipati setuju dengan usul Ki Demang dan ia menyuruh Patih untuk menyiapkan prajurit pilihan yang diberi tugas untuk menyiapkan prajurit pilihan yang diberi tugas untuk menyiapkan prajurit pilihan mencuri pusaka Jipang Panolan. Prajurit pilihan itu berhasil mencuri pusaka Jipang Panolan.
Pada suatu pagi, ketika para prajurit Jipang Panolan yang berutgas  menjaga pusaka memeriksa tempat penyimpanan pusaka, mereka sangat kaget melihat pusaka Jipang Panolan tidak ada di tempatnya.
Ketika Pangeran Benawa sedang membicarakan kehidupan rakyat Jipang Panolan bersama Patih dan kedua saudaranya (Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jati Swara), datanglah dua orang prajurit melaporkan peristiwa hilangnya pusaka Wulu Domba Pancal Panggung.
Dengan tenang Pangeran Benawa mendengarkan cerita prajurit penjaga pusaka Kadipaten Jipang Panolan tentang lenyapnya pusaka Wulu Domba Pancal Panggung itu.
“Aku sudah mengerti semuanya. Yang penting saat ini adalah mencari dan menemukan pusaka itu. Karena yang bisa mencuri pusaka Wulu Domba Pancal Panggung itu adalah orang yang sakti. Oelh karena itu, aku perintahkan kedua adikku, Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jaati Swara untuk mencarinya. Apakah kalian bersedia?” Tanya Pangeran Benawa kepada kedua adiknya.
“Kami berdua siap kakanda,” jawab Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jati Swara serempak.
“Apa pun halangannya harus kami hadapi, apalagi yang kita cari pusaka warisan ayahanda Sultan,” ujar Pangeran Jati Kusuma.
“Kami mohon pamit dan mohon restu kakanda,” Pangeran Jati Swara menghaturkan sembah.
“Baiklah. Segeralah pergi. Dengan kesaktian kalian berdua, aku yakin pusaka itu dapat ditemukan kembali.”
Pangeran Benawa memeluk kedua adiknya.
Pangeran Jati Swara dan Pangeran Jati Kusuma meninggalkan Kadipaten Jipang Panolan dan pergi melaksanakn tugas mencari pusaka yang hilang. Mereka masuk hutan, mendaki gunung, menuruni lembah, menyeberangi sungai, bertanya di kampung-kampung dan desa-desa. Perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan untuk menemukan pusaka Wulu Domba Pancal Panggung tersebut. Dalam perjalan mereka, Pangeran Jati Swara dan Pangeran Jati Kusuma sering menolong orang lain yang kesulitan dan yang mengalami penderitaan.
“Mari Pak, kami bantu memikul kayu jati yang berat ini,” Pangeran Jati Swara dan Pangeran Jati Kusuma menolong seorang bapak tua yang kelelehan memikul kayu jati.
“Terima kasih, anak muda. Siapa sebenarnya kalian berdua ini?” Tanya Pak Tua.
“Kami ini pengembara Pak Tua,” jawab Pangeran Jati Kusuma.
“Pak Tua kami sedang menjalankan tugas dari kakak kami untuk mencari pusaka yang hilang,” PAngeran Jati Swara menambahkan.
“Terima kasih anak muda. Singgahlah di rumah saya sebentar,” ajak Pak Tua ketika sampai dirumahnya.
“Terima kasih Pak Tua, kami harus meneruskan perjalanan. Mungkin peda kesempatan lain kami akan singgah,” kata kedua Pangeran itu dengan sopan dan halus menolak ajakan Pak Tua.
“Aku doakan kalian berdua berhasil menemukan pusaka kalian yang hilang,” kata Pak Tua sambil menyerahkan bungkusan yang berisi makanan yang diambil dari dalam rumah.
Pada kesempatan lain, kedua pengeran itu juga menolok anak kijang yang terjerat kakinya oelh ulah pemburu. Ketika melihat telur-telur burung merak yang tergeletak di jalan. Kedua pangeran itu membuatkan sarang dari rumput dan meletakan telur itu kedalam sarangnya, lalu sarang itu diletakan jauh dari jalan agar tidak terinjak.
Pangeran Jati Swara dan Pangeran Jati Kusuma selama berjalan dalam hutan tidak menebang pohon atau merusak pohon-pohon yang rimbun di hutan. Tidak segan-segan kedua pengeran itu menegur dan menasehati orang-orang yang  menebang pohon secara berlebihan dan tidak mau menanam pohon kembali.
Kebaikan hati Pangeran Jati Swara dan Pangeran Jati Kusuma diketahui penduduk yang tinggal di sepanjang perkampungan yang dilalui kedua pangeran. Dalam perjalanan itu mereka mendapat empat orang sahabat.
“Bolehkah saya berguru dan menyertai perjalanan Pangeran dalam mencari pusaka?” Tanya seorang pemuda yang tegap.
“Kalau itu keinginanmu, kami tidak bisa menolak,” jawab Pangeran Jati Kusuma.
“Jika kamu ikut kami, harus mamu menolong semua makhluk hidup yang mengalami penderitaan dan kesusahan, baik itu manusia, hewan maupun tumbuhan. Apakah kamu bersedia?” Pangeran Jati Swara ingin mengetahui ketulusan hati pemuda yang tegap itu.
“Saya bersedia. Bahkan kalau boleh saya mengajak tiga teman saya.”
“Baiklah, kami bisa menerimanya,” jawab Pangeran Jati Kusuma.
Mereka berenam kemudian meneruskan perjalanan dan sampailah mereka di desa Janjang yang terletak di atas sebuah bukit. Di desa itu lah mereka menemukan pusaka Wulu Domba Pancal Panggung yang hilang. Namun, setelah menemukan pusaka itu, Pangeran Jati Swara dan Pangeran Jati Kusuma tidak kembali ke Jipang Panolan sebab Pangeran Benawa kembali ke Pajang. Dan kekuasaan Pajang telah diserahkan kepada Sutawijaya di Mataram. Mereka berenam menetap di desa tersebut.
Setelah beberapa saat Pangeran Jati Swara dan Pangeran Jati Kusuma beserta empat muridnya tinggal di desa Janjang, ada seorang putrid bernama Rondo Kuning yang tergila-gila dan ingin dijadikan istri oleh Pangeran Jati Swara dan Pangeran Jati Kusuma. Namun, dengan halus dan sopan Pangeran Jati Swara dan Pangeran Jati Kusuma dapat menolak keinginan Rondo Kuning. Akhirnya, Rondo Kuning menjadi murid Pangeran Jati Swara dan Pangeran Jati Kusuma.
Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jati Swara bersama keempat sahabatnya mengajarkan kepada penduduk di sekitar tempat tinggalnya berbagai kebajikan dan pengetahuan yang berguna serta menanamkan rasa cinta kepada alam dan sesama. Kedua pangeran itu juga menyebarkan agama Islam di daerah itu.
“Kita harus juga bersyukur kepada Tuhan yang memberikan rezeki setiap hari.”
“Bagaimana caranya Pangeran?” Tanya seorang ibu.
“Janganlah kalian menyisakan makanan setiap kali makan, dan kalau ada sisa, makanan itu harus diberikan kepada ayam atau binatang lainnya,” jawab Pangeran Jati Kusuma.
“Ingatlah semua jaran kami dan lakukanlah,” Pangeran Jati Swara menambahkan.
Lambat laun tempat tinggal kedua pangeran itu bersama murid-muridnya menjadi desa yang maju dan berkembang. Banyak penduduk sekitar hutan menetap bersama Pangera Jati Swara dan Pangeran Jati Kusuma di desa tersebut. Akhirnya, kedua pangeran itu meninggal dunia dan dimakamkan di Janjang. Demikian juga keempat muridnya dan Rondo Kuning juga dimakamkan dalam satu kompleks dengan Pangeran Jati Kusuma dan Pangeran Jati Swara yang masih dipelihara sampai hari ini adalah temapt sholat, wayang krucil dan padasan atau tempat air untuk wudu. Semua peninggalan itu masih dirawat dan dipelihara dengan baik oleh penduduk desa Janjang. Selain itu, penduduk desa Janjang sampai hari ini tetap menghargai Pangeran Jati Swara dan Pangeran Jati Kusuma serta melaksanakan ajarannya. Penghargaan itu diwujudkan dengan ucapan syukur kepada Tuhan dalam bentuk wujud Sedekah Bumi Manganan Janjang yang diadakan setiap tahun pada hari Jum’at Pon di bulan sapar dalam penanggalan Jawa.


Dikutip Dari Buku :
Edi Sumartono (PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar