Alkisah ada seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, Aarung Bondan
namanya. Tidak seperti pemuda-pemuda lain yang gemar berburu binatang di hutan,
memancing di sungai atau berlatih menggunakan senjata, Arung Bondan suka
berguru pada orang-orang pintar dan bertapa memohon kemurahan dewata.
Pada suatu hari, Arung Bondan memohon do’a restu pada bapak ibunya
meninggalkan Medang Kamulan untuk belajar pada seorang guru yang sakti. Ia
berlayar menyeberangi selat yang memisahkan Pulau Majeti dan Pulau Jawa. Pulau
Majeti berada di sebelah utara Pulau Jawadipa. Setelah mendarat di Pulau
Majeti, Arung Bondan pergi ke Kaling dan menjumpai guru yang pandai.
“Bapak Guru, terimalah hamba ini sebagai murid. Hamba ingin menjadi
orang yang pandai,” Arung Bondan menyampaikan maksudnya kepada seorang Guru
yang pandai di Kaling.
“Baiklah, aku akan menerima kau sebagai muridku asalkan kau rajin
belajar dan tidak malas. Dan setelah kau memiliki ilmu, kau harus mengamalkan
dalam hidupmu. Apakah kau bersedia menerima syarat itu?” Tanya sang guru.
“Hamba bersedia Bapak Guru.”
Selama di Kaling, Arung Bondan belajar berbagai ilmu. Ia juga belajar
pada seorang guru yang pandai pengobatan
dan pertukangan. Ia pun menjumpai seorang Brahmana dari India dan belajar ilmu
agama padanya. Ketika seorang biksu datang dari Swarnadipa ke Kaling, ia
pergunakan kesempatan itu untuk belajar meditasi. Semakin lama ilmu yang
didapat Arung Bondan semakkin banyak. Berkat kerja keras dan ketekunannya, ia
menjadi seorang yang cerdik pandai. Para dewa senang melihat kerja keras Arung
Bondan, dan para dewa melimpahinya dengan kepandaian.
Setelah merasa cukup dengan ilmu yang didapat, Arung Bondan pulang ke
Medang Kamulan di Pulau Jawadwipa. Ia mengembangkan ilmu yang diperolehnya di Medang
Kamulan. Arung Bondan tidak pernah merasa puas dengan ilmu yang telah
dimilikinya. Ia mendengar bahwa di Rajekwesi, negeri di sebelah timur Medang
Kamulan, ada seorang raja yang bernama Angling Darma yang mengerti bahasa
hewan.
“Bapak, izinkanlah saya untuk mencari ilmu ke Rajekwesi. Saya ingin
berguru pada Prabu Angling Darma.”
“Anakku, bukankah kau sudah menguasai berbagai ilmu? Tidakkah kau mulai
memikirkan untuk berumah tangga sebab teman-teman seusiamu sudah memiliki
anak?”
“Tetapi saya ingin sekali berguru pada Prabu Angling Darma. Seklai ini
saja Bapak, dan setelah pulang dari Rajekwesi saya akan memenuhi keinginan
Bapak untuk berumah tangga,” ujar Arung Bondan memohon dengan sangat.
“Kalau kau sudah bertekad bulat, Bapak tidak bisa menahanmu. Bapak
merestui kepergianmu, tetapi jangan
berlama-lama seperti ketika kau merantau ke Kaling beberapa waktu yang lalu.”
“Terima kasih, Bapak. Arung Bondan mohon pamit.”
Arung Bondan segera pergi ke Rajekwesi. Ia ingin secepatnya berguru
pada Prabu Angling Darma. Sesampai di Rajekwesi, ia tidak mengalami kesulitan
yang berarti untuk menjumpai Prabu Angling Darma.
“Hamba datang dari negeri Medang Kamulan karena hamba mendengar
kepandaian Prabu Angling Darma. Bolehkah hamba menjadi murid Prabu?”
“Tentu saja boleh. Saya sangat senang ada anak muda yang gemar belajar,
bahkan datang dari tempat yang jauh dari sini.”
Perkataan Prabu Angling Darma menggembirakan hati Arung Bondan.
Beberapa saat lamanya, Arung Bondan belajar di Rajekwesi. Prabu Angling
Darma sangat senang melihat muridnya. Arung Bondan adalah seorang anak muda yang cerdas dan berbakat serta rajin
belajar.
Setelah dirasa cukup, Prabu Anling Darma berkata kepada Arung
Bondan,”Anakku segala ilmu telah kuberikan kepadamu dank au adalah anak yeng
tekun sehingga dengan cepat ka umenyerap segala ilmu yang telah aku ajarkan.
Sekarang pulanglah kenegerimu, Medang Kamulan dan amalkan ilmu untuk kebaikan
semua makhluk hidup di bumi. Pasti bapak dan ibumu sudah lama menantimu
pulang.”
“Terima kasih hamba yang tidak terkira kepada Prabu. Semoga segala
pesan dan nasihat Prabu dapat hamba laksanakan, “kata Arung Bondan mohon pamit
pada Prabu Angling Darma.
Namun, Arung Bondan tidak pulang ke Medang Kamulan. Ia pergi ke Swarna
dwipa setelah mendengar kabar disana ada seorang guru yang sangat pandai. Ia
ingin belajar di Swarnadipa sekaligus ingin melihat Pulau Swarnadipa. Perjalan
Kepulau Swarnadipa sangat jauh. Berhari-hari Arung Bondan berlayar, namun ia
merasa tidak lelah karena ia ingin terus belajar. Ia ingin menjadi orang yang
pandai.
Akhirnya, Arung Bondan sampai di pulua Swarnadipa. Ia senang sekali
sebab di negeri itu banyak sekolah yang mengajarkan berbagai ilmu. Murid-murid
yang belajar di Swarnadipa datang dari berbagai negeri, bahkan ada murid yang
berasal dari Tiongkok.
Beberapa tahun Arung Bondan belajar berbagai ilmu di Swarnadipa dan ini
membuat dia semakin pandai. Namun, ia tidak sombong karena kepandaiannya itu.
Akhirnya, ia memutuskan untuk pulang ke Medang Kamulan. Dengan hati yang
senang, ia berlayar ke pulau Jawadwipa dan akhirnya sampai di Medang Kamulan.
Sesampainya di Medang Kamulan, Arung Bondan mendirikan padepokan.
Banyak anak muda yang belajar padanya dan berbagai ilmu diajarkan kepada
murid-muridnya. Orang-orang di desanya merasa senang sebab anak-anak mereka
memperoleh pengetahuan yang sebelumnya tidak mereka miliki.
Arung Bondan terkenal sebagai ahli bangunan dan ahli ilmu pemerintahan.
Ia sering dimintai tolong baik oleh rakyat biasa maupun raja untuk membangun
rumah. Ia juga sering dimitai nasihat oleh para punggawa (pejabat) kerajaan
tentang berbagai persoalan yang mereka hadapi.
Berkat kepandaian yang dimilikinya, Arung Bondan memiliki banyak
sahabat di berbagai tempat. Apalagi ia tidak sombong dan suka membagi
pengetahuannya kepada orang lain.
“Arung Bondan anakku, kau sudah menjadi orang yang pandai dan terkenal
di seluruh Medang Kamulan ini. Namun, ada satu yang kurang…”
Arung Bondan memotong pembicaraan bapaknya, “Apa yang kurang, Bapak?”
“Kau belum beristri. Bapak ingin, sebelum meninggal kau telah beristri
dan memiliki anak. Maukah kau memenuhi permintaan bapakmu yang sudah renta
ini?”
Arung Bondan akhirnya menikah dengan gadis pilihannya. Setelah menikah,
Arung Bondan bertapa di sebuah gunung. Para dewata berkenan atas laku tanpa Arung
Bondan, maka Dewa member anugerah kepada Arung Bondan. Berkatalah Dewata kepada
Arung Bondan.
“Inilah anugerah yang akan kau terima. Kelak dikemudian hari, anak cucumu akan menjadi
orang-orang yang pandai dan berkuasa. Dari anak cucumu akan lahir para patih di
Jawadwipa dan juga para ahli bangunan”.
Arung Bondan pun pulang ke rumahnya. Beberapa tahun kemudian, Arung
Bondan memiliki beberapa anak. Anak-anaknya menjadi orang pandai : ada yang
menjadi patih, ada yang menjadi ahli pertukangan. Dari Arung BOndanlah asal
dari para patih dan punggawa (pejabat) kerajaan-kerajaan di Jawa Kuno sehingga
Arung Bondan disebut sebagai nenek moyang para patih dan pejabat tinggi
kerajaan di zaman kuno. Dari Arung Bondan pula lahir orang-orang yang ahli
bangunan sehingga Arung Bondan disebut sebagai nenek moyang para ahli bangunan
di Pulau Jawa.
0 komentar:
Posting Komentar