Setelah Prabu Airlangga melebarkan
kekuasaannya dengan menaklukan Kerajaan Wengker, Wurawuri, dan wilayah
lainnya,, Prabu Airlangga beruha memakmurkan rakyatnya dengan membuat tanggul
didaerah wringinsapta. Selain untuk mengendalikan banjir dari sungai brantas,
tanggul ini juga untuk mangairi sawah dan untuk memajukan perdagangan. Prabu
Airlangga memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh di muara Sungai Brantas dan
Pelabuhan Kembang Putih (Tuban). Prabu Airlangga juga memerintahkan Mpu Kanwa
untuk menulis kita Arjuna Wiwaha dan
mengembangkan wayang kulit.
Prabu
Airlangga memiliki tiga orang anak, yang pertama perempuan, dan yang kedua serta
yang ketiga laki-laki. Anak perempuannya menduduki jabatan sebagai Mahamantri
dengan gelar Sanggramawiajaya, yang menduduki tempat tertingga sesudah raja.
Sang putri ini nantinya akan menggantikan takhta kerajaan untuk menggantikannya
sebagai raja di Kahuripan.
“Apa
yang membuat engkau tidak bersedia menggantikan ayahanda sebagai raja di
Kahuripan anakku? Ayahanda ingin mengetahui alasanmu.”
“Ampun
seribu ampun ayahanda, aku menolak kedudukan raja bukan karena aku tidak
menghormati ayahanda. Aku ingin menjadi seorang Brahmani yang mendalami agama. AKu
akan tinggal di lereng Gunung Penanggungan. Itulah panggilan hidupku ayahanda.”
“Kalau
kau benar kau benar-benar meninggalkan istana, lalu siapa yang akan meneruskan
takhta Kahuripan?”
“Bukankah
aku punya dua adik lelaki Prabu Airlangga mendengar bahwa kakak perempuan
mereka tidak mau menjadi raja di Kahuripan, mereka bertengkar dan berebut
takhta Kahuripan.
Semakin lama
pertengkaran mereka semakin meruncing sehingga menyusahkan hati Prabu
Airlangga. Oleh karena itu, Prabu Airlangga berkata pada putrinya, “Anakku,
keputusanmu untuk tidak menerima takhta Kahuripan membuat adik-adikmu berebut
takhta. Bagaimana kita harus mengatasinya?”
“Ayahanda Prabu, kalau
Ayahanda berkenan aku hendak menyampaikan satu usul.”
“Katakanlah anakku,
ayahanda akan senang mendengarnya. Ayah yakin usulmu pasti baik dan tulus.
“Prabu Airlangga gelisah menunggu jawaban putrinya
“Kahuripan dibagi
menjadi dua,”kata Sanggramawijaya.
“Anakku, dengan susah
payah kusatukan Kahuripan dan sekaran aku harus membaginya..,” ujar Prabu
Airlangga dengan tegang.
“Ayahanda itulah jalan
yang paling aman dan tidak menimbulkan pertumpahan darah.”
“Lalu siapa yang harus
membaginya?”
“Mpu Baradah,”jawab
Sanggramawijaya dengan mantap.
Prabu Airlangga pun
mengadakan pertemuan dengan para punggawa (pejabat) kerajaan untuk membahas
usul Sanggramawijaya. Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya pertemuan
itu menyetujui usul Sanggramawijaya. Prabu Airlangga mengutus dua orang duta
atau utusan untuk meminta bantuan Mpu Baradah. Mpu Baradah adalah seorang yang
pandai dan memiliki cinta yang besar kepada sesame. Ia juga seorang yang rajin
beribadah dan taat pada Tuhan. Mpu Baradah juga pernah menolong Prabu Airlangga
ketika Calonarang menyebar penyakit di Kahuripan. Pada hari itu juga, dua orang
utusan Prabu Airlangga berangkat menjumpai Mpu Baradah.
Setelah berhari-hari
dua orang utusan Prabu Airlangga berkuda, akhirnya mereka sampai di tempat
tinggal Mpu Baradah.
“Maaf, Saudara ini
dari mana dan apakah keperluan Saudara di sini. Apakah yang dapat saya bantu
untuk Saudara?” Tanya murid Mpu baradah kepada utusan Prabu Airlangga.
“Kami utusan Prabu
Airlangga. Kami ingin bertemu dengan Mpu Baradah. Ada pesan dari Prabu
Airlangga yang harus saya sampaikan kepada Mpu Baradah,”jawab kedua utusan
Prabu Airlangga.
Murid Mpu Baradah
mengajak masuk utusan Prabu Airlangga. Mereka diterima Mpu Baradah di
padepokan.
“Ada perlu apa Prabu
Airlangga mengutus kalian kesini?”
“Prabu Airlangga ingin
membagi negeri Kahuripan menjadi dua bagian untuk kedua anak laki-lakinya,
sebab Sanggramawijaya tidak bersedia menjadi ratu di Kahuripan. Agar pembagian
itu adil, Prabu Airlangga bermaksud meminta bantuan Mpu Baradah untuk melakukan
pembagian negeri Kahuripan. Bila bukan sang Mpu yang melakukannya, Prabu
Airlangga khawatir aka nada perselisihan di antara kedua putranya. Prabu
Arilangga sangat berharap Mpu Baradah mau melakukannya,” kata utusan Prabu
Airlangga memohon dengan hati berdebar-debar.
“Aku mau
melakukannya,”jawab Mpu Baradah.”Tetapi yang aku lakukan demi rakyat Kahuripan
agar mereka tidak menderita karena perang saudara memperebutkan takhta.”
Mendengar kesediaan
Mpu Baradah itu, utusan Prabu Airlangga sangat senang dan mereka segera pamit
untuk kembali ke istana. Mpu Baradah meminta agar mereka mennginap, tetapi
mereka tidak bersedia.
Setelah berpamitan
dengan Mpu Baradah, mereka segera mencambuk kuda mereka dan mereka melesat
bagai kilat meninggalkan Mpu Baradah.
Mpu Baradah sedih dan
mencemaskan masa depan Kahuripan. Ia kemudian berkemas dan menyiapkan segala
perlengkapan untuk melaksanakan tugas membagi Kahuripan menjadi dua.
Ketika saatnya dirasa
tepat, Mpu Baradah pergi ke Istana Kahuripan menghadap Prabu Airlangga. Betapa
senang hati Prabu Airlangga mendengar kesediaan Mpu Baradah membagi Kahuripan
menjadi dua.
“Segera laksanakan
saja Mpu Baradah agar kedua anakku tidak terus bertikai. Dan setelah pembagian
itu, aku segera mengikuti Sanggramawijaya ke lereng Gunung Penanggungan untuk
mendekatkan diri kepada TUhan.”
“Baiklah Baginda.
Namun, sebelum hamba melaksanakan tugas ini, hamba hendak menyampaikan isi hati
hamba. Pembagian Kahuripan ini hamba terima semata-mata hanya untuk menghindari
perang saudara memperebutkan takhta. Bukankah kalau terjadi perang akan merugikan
rakyat Kahuripan?”
Dengan hati yang
teramat sedih, Mpu Baradah membagi negeri Kahuripan menjadi dua kerajaan. Yang
satu diberi nama Jenggala atau Singasari dengan ibukota Kahuripan dan yang satu
lagi diberi nama Panjalu atau Kediri dengan ibu kota Daha. Mpu Baradah
menggunakan Gunung Kawi sebagai batas dua kerajaan tersebut. Kediri berada
disebelah barat Gunung Kawi, sedangkan Singasari berada di sebelah timur Gunung
Kawi.
Setelah
pembagian negeri Kahuripan, Raja Airlangga menganugerahkan kepada Mpu Baradah
sebidang tanah yang cukup luas. Tanah yang ditinggali Mpu Baradah lalu diberi
nama Bhurara. Bhurara berasal dari
kata bumi yang artinya ‘tanah’, dan
kata rara yang artinya ‘anak’. Jadi,
Bhurara berarti ‘tanah yang diberikan raja kepada seorang anak atau orang yang
berjasa kepada negara’. Oleh penduduk yang tinggal disekitarnya, nama Bhurara
sering diucapkan Wurara atau wurare. Lambat laun nama Bhurara berubah menjadi
Blura dan selanjutnya menjadi BLORA sampai hari ini. Demikkianlah asal usul
nama BLORA.
Dikutip Dari Buku :
Edi Sumartono (PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2009)
Dikutip Dari Buku :
Edi Sumartono (PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2009)
0 komentar:
Posting Komentar