Pages

Minggu, 06 April 2014

Asal Usul Nama Blora

Setelah Prabu Airlangga melebarkan kekuasaannya dengan menaklukan Kerajaan Wengker, Wurawuri, dan wilayah lainnya,, Prabu Airlangga beruha memakmurkan rakyatnya dengan membuat tanggul didaerah wringinsapta. Selain untuk mengendalikan banjir dari sungai brantas, tanggul ini juga untuk mangairi sawah dan untuk memajukan perdagangan. Prabu Airlangga memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh di muara Sungai Brantas dan Pelabuhan Kembang Putih (Tuban). Prabu Airlangga juga memerintahkan Mpu Kanwa untuk menulis kita Arjuna Wiwaha dan mengembangkan wayang kulit.
      Prabu Airlangga memiliki tiga orang anak, yang pertama perempuan, dan yang kedua serta yang ketiga laki-laki. Anak perempuannya menduduki jabatan sebagai Mahamantri dengan gelar Sanggramawiajaya, yang menduduki tempat tertingga sesudah raja. Sang putri ini nantinya akan menggantikan takhta kerajaan untuk menggantikannya sebagai raja di Kahuripan. 
      “Apa yang membuat engkau tidak bersedia menggantikan ayahanda sebagai raja di Kahuripan anakku? Ayahanda ingin mengetahui alasanmu.”
      “Ampun seribu ampun ayahanda, aku menolak kedudukan raja bukan karena aku tidak menghormati ayahanda. Aku ingin menjadi seorang Brahmani yang mendalami agama. AKu akan tinggal di lereng Gunung Penanggungan. Itulah panggilan hidupku ayahanda.”
      “Kalau kau benar kau benar-benar meninggalkan istana, lalu siapa yang akan meneruskan takhta Kahuripan?”
      “Bukankah aku punya dua adik lelaki Prabu Airlangga mendengar bahwa kakak perempuan mereka tidak mau menjadi raja di Kahuripan, mereka bertengkar dan berebut takhta Kahuripan.
Semakin lama pertengkaran mereka semakin meruncing sehingga menyusahkan hati Prabu Airlangga. Oleh karena itu, Prabu Airlangga berkata pada putrinya, “Anakku, keputusanmu untuk tidak menerima takhta Kahuripan membuat adik-adikmu berebut takhta. Bagaimana kita harus mengatasinya?”
“Ayahanda Prabu, kalau Ayahanda berkenan aku hendak menyampaikan satu usul.”
“Katakanlah anakku, ayahanda akan senang mendengarnya. Ayah yakin usulmu pasti baik dan tulus. “Prabu Airlangga gelisah menunggu jawaban putrinya
“Kahuripan dibagi menjadi dua,”kata Sanggramawijaya.
“Anakku, dengan susah payah kusatukan Kahuripan dan sekaran aku harus membaginya..,” ujar Prabu Airlangga dengan tegang.
“Ayahanda itulah jalan yang paling aman dan tidak menimbulkan pertumpahan darah.”
“Lalu siapa yang harus membaginya?”
“Mpu Baradah,”jawab Sanggramawijaya dengan mantap.
Prabu Airlangga pun mengadakan pertemuan dengan para punggawa (pejabat) kerajaan untuk membahas usul Sanggramawijaya. Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya pertemuan itu menyetujui usul Sanggramawijaya. Prabu Airlangga mengutus dua orang duta atau utusan untuk meminta bantuan Mpu Baradah. Mpu Baradah adalah seorang yang pandai dan memiliki cinta yang besar kepada sesame. Ia juga seorang yang rajin beribadah dan taat pada Tuhan. Mpu Baradah juga pernah menolong Prabu Airlangga ketika Calonarang menyebar penyakit di Kahuripan. Pada hari itu juga, dua orang utusan Prabu Airlangga berangkat menjumpai Mpu Baradah.
Setelah berhari-hari dua orang utusan Prabu Airlangga berkuda, akhirnya mereka sampai di tempat tinggal Mpu Baradah.
“Maaf, Saudara ini dari mana dan apakah keperluan Saudara di sini. Apakah yang dapat saya bantu untuk Saudara?” Tanya murid Mpu baradah kepada utusan Prabu Airlangga.
“Kami utusan Prabu Airlangga. Kami ingin bertemu dengan Mpu Baradah. Ada pesan dari Prabu Airlangga yang harus saya sampaikan kepada Mpu Baradah,”jawab kedua utusan Prabu Airlangga.
Murid Mpu Baradah mengajak masuk utusan Prabu Airlangga. Mereka diterima Mpu Baradah di padepokan.
“Ada perlu apa Prabu Airlangga mengutus kalian kesini?”
“Prabu Airlangga ingin membagi negeri Kahuripan menjadi dua bagian untuk kedua anak laki-lakinya, sebab Sanggramawijaya tidak bersedia menjadi ratu di Kahuripan. Agar pembagian itu adil, Prabu Airlangga bermaksud meminta bantuan Mpu Baradah untuk melakukan pembagian negeri Kahuripan. Bila bukan sang Mpu yang melakukannya, Prabu Airlangga khawatir aka nada perselisihan di antara kedua putranya. Prabu Arilangga sangat berharap Mpu Baradah mau melakukannya,” kata utusan Prabu Airlangga memohon dengan hati berdebar-debar.
“Aku mau melakukannya,”jawab Mpu Baradah.”Tetapi yang aku lakukan demi rakyat Kahuripan agar mereka tidak menderita karena perang saudara memperebutkan takhta.”
Mendengar kesediaan Mpu Baradah itu, utusan Prabu Airlangga sangat senang dan mereka segera pamit untuk kembali ke istana. Mpu Baradah meminta agar mereka mennginap, tetapi mereka tidak bersedia.
Setelah berpamitan dengan Mpu Baradah, mereka segera mencambuk kuda mereka dan mereka melesat bagai kilat meninggalkan Mpu Baradah.
Mpu Baradah sedih dan mencemaskan masa depan Kahuripan. Ia kemudian berkemas dan menyiapkan segala perlengkapan untuk melaksanakan tugas membagi Kahuripan menjadi dua.
Ketika saatnya dirasa tepat, Mpu Baradah pergi ke Istana Kahuripan menghadap Prabu Airlangga. Betapa senang hati Prabu Airlangga mendengar kesediaan Mpu Baradah membagi Kahuripan menjadi dua.
“Segera laksanakan saja Mpu Baradah agar kedua anakku tidak terus bertikai. Dan setelah pembagian itu, aku segera mengikuti Sanggramawijaya ke lereng Gunung Penanggungan untuk mendekatkan diri kepada TUhan.”
“Baiklah Baginda. Namun, sebelum hamba melaksanakan tugas ini, hamba hendak menyampaikan isi hati hamba. Pembagian Kahuripan ini hamba terima semata-mata hanya untuk menghindari perang saudara memperebutkan takhta. Bukankah kalau terjadi perang akan merugikan rakyat Kahuripan?”
Dengan hati yang teramat sedih, Mpu Baradah membagi negeri Kahuripan menjadi dua kerajaan. Yang satu diberi nama Jenggala atau Singasari dengan ibukota Kahuripan dan yang satu lagi diberi nama Panjalu atau Kediri dengan ibu kota Daha. Mpu Baradah menggunakan Gunung Kawi sebagai batas dua kerajaan tersebut. Kediri berada disebelah barat Gunung Kawi, sedangkan Singasari berada di sebelah timur Gunung Kawi.
      Setelah pembagian negeri Kahuripan, Raja Airlangga menganugerahkan kepada Mpu Baradah sebidang tanah yang cukup luas. Tanah yang ditinggali Mpu Baradah lalu diberi nama Bhurara. Bhurara berasal dari kata bumi yang artinya ‘tanah’, dan kata rara yang artinya ‘anak’. Jadi, Bhurara berarti ‘tanah yang diberikan raja kepada seorang anak atau orang yang berjasa kepada negara’. Oleh penduduk yang tinggal disekitarnya, nama Bhurara sering diucapkan Wurara atau wurare. Lambat laun nama Bhurara berubah menjadi Blura dan selanjutnya menjadi BLORA sampai hari ini. Demikkianlah asal usul nama BLORA.


Dikutip Dari Buku :
Edi Sumartono (PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2009)

0 komentar:

Posting Komentar